Minggu, 18 November 2012

Kopi Pahit

Seperti kopi pahit yang  habis terteguk, namun menyisakan pati. Membekas.

Berulang kali ku cek ponselku. Nihil. Masih berharap akan ada pesan pesan darnya Yuna? pikiranku mulai menyusun perbincangannya sendiri. Aku berusaha menghindar dari perbincangan itu. kualihkan pandangan ke arah monitor laptopku, mulai mengerjakan proyek yang baru saja kuterima. Sudah cukup mellow-nya. terlalu banyak waktu yang terbuang karena menyesal. Pikirku.  

Ah kau menyesal ternyata Yuna, bisik hatiku menyepelekan.

Bukannya kau, yang begitu pagi datang, memutuskan untuk mengakhiri semuanya. 

Aku menghela nafas.

Bukannya kau yang dengan penuh kehati hatian berusaha untuk menjelaskan bahwa hatimu tak bisa lagi mencintainya.

Bukannya kau juga yang mengambil keputusan untuk menjauh darinya dengan kata kata ketusmu Yuna?

Pikiranku mengeluarkan fakta yang tak mungkin kubantah. Aku benar benar tak bisa melakukan apapun. Nafasku tertahan.

Jangan pernah mengharapkan sisa manisnya Yuna, jika yang kau beri padanya hanya Kopi Pahit.

Hanya akan tertinggal ampasnya, Pahit.


Aku mematikan ponsel, membiarkan laptopku menyuarakan lagu yang pernah kita nyanyikan dulu.
Aku merindukanmu, bisikku.

Aku tau cinta itu terasa berari saat kau telah benar benar pergi.

 


0 comments:

Posting Komentar