Kamis, 21 Maret 2013

Puisi pagi



Pada pagi yang mendung
Ada rindu terkungkung
Ada rasa terbendung
Tak bisa meraung
...

Pada siang yang cerah
Ada cinta yang buncah
Meski kadang tak terarah
Pada jiwa yang merekah
Buncah
...
Pada malam yang hitam
Ada pesan pada kelam
Biarkan rindu tenggelam
Karena asa telah terbenam
Jauh ke dasar paling dalam



Untuk cinta terpendam

posted from Bloggeroid

Kamis, 14 Maret 2013

Polaroid capsules

 


“Kamera Polaroid … !!!” Seruku saat itu. Kau hanya tersenyum. Ya, itu hadiah yang kau berikan di hari ulang tahunku yang ke 19. Setelah berulang kali kau membujukku untuk mengatakan apa yang paling aku inginkan saat itu, aku ingat sekali, setelah ku katakan aku ingin kamera itu tiba tiba saja kau menjauh dariku, tak mau lagi ku ajak makan, atau sekedar nonton film yang saat itu sedang tanyang perdana. Kau tiba tiba saja jarang terlihat muncul tiba-tiba di pintu kamarku. Beberapa kali kuperhatikan kau terlihat lelah, mengantuk di kelas saat dosen menjelaskan. Kau tau, aku sudah lama sekali mengumpulkan uang untuk membeli kamera itu, tapi selalu ku gunakan untuk membayar uang kuliah karena belum datang kiriman dari ibuku. Kau tau itu hadiah terindah di hidupku.

Tiba tiba saja aku teringat tentangmu. Padahal itu sudah lama sekali. Sekarang pasti kau sudah bahagia.

Kau ingat, dengan kamera itu kita membuat buku ‘Sejarah’. Kau lebih suka mengatakannya buku ‘pusaka’. Kau ingat buku itu masih tersimpan rapi, sebagai bukti aku pernah bahagia bersamamu. Baru setengah dari buku itu terisi, kau tiba tiba saja pergi. Menghilang entah kemana. Menjauh begitu saja, sejak kuceritakan seorang kakak kelas yang sejak dulu kusukai menyatakan cintanya kepadaku. Kau tau sejak itu, aku kehilangan tawa renyahmu, kehilangan mata sipitmu saat tertawa, kehilangan aroma tubuhmu yang berbalut harum chocolate. Aku rindu. Itu saja yang kutulis di buku ‘pusaka’ kita.

Tiba-tiba saja aku merindukanmu dengan sangat, tanpa tepi. Padahal sudah lama sekali aku terbiasa dengan rasa ini.

Entah apa yang dapat mendefenisikan rasa itu, saat aku akhirnya mengetahui kabar terakhirmu. Bahkan dari orang yang baru saja ku kenal. Dea. Gadis manis itu akhirnya menceritakan kisah cintanya. Bahwa ia akan bertunangan dengan seorang arsitek kreatif. Andro. Nama yang tidak asing di telingaku. Andro Yudhistira. Gadis itu mengangguk saat kusebutkan nama lengkapmu. Aku tercekat. Terdiam. Kemudian dengan sopan segera pamit. Kau tau, aku menangis tanpa alasan hari itu. Harusnya aku bahagia bisa mengetahui kabarmu dan kabar bahagia kalian. Tiba tiba saja saat itu aku sedih. Belum selesai di situ, kau menjemputnya beberapa hari kemudian, menawariku makan bersama kemudian mengharuskanku melihat kebahagiaan kalian. Kau tertawa. Hal yang paling kusukai darimu, hal yang paling kurindukan. Suara tawamu. Saat kau tertawa renyah, lepas, tanpa beban, aku ingin menangkapnya dalam sebuah toples kaca, kusimpan untukku sendiri. Takkan ku bagi, meski dengan nya, kekasihmu. Tapi aku tak bisa. Aku cemburu. Aku tak ingin kau terbagi.

Andai aja kau tahu, saat itu setengah mati aku ingin menjepretkan kamera polaroidku. Aku ingin mengumpulkan kembali tawamu. Tapi kau mengeluarkan ponsel terbarumu dan mengabadikannya dengan kamera ponselmu. Terasa ada yang berbeda Ro. Rasa ini membuat kepalaku menjadi panas.

Ah, Ro. Air mataku begitu saja keluar setiap kali aku melihat buku pusaka kita. Kau selalu bilang, ada masa yang tak pernah kembali, saat saat yang tak akan terulang lagi. Kau benar, kamera ini menjadi bukti semuanya Ro. Aku punya saat saat yang tak pernah terulang itu. Saat kau masih tertawa bersamaku, tertawa untukku. Masih teringat jelas saat terakhir kali sebelum kau pergi menghilang. Di padang  rumput belakang komplek perumahan kita. Kau tertawa renyah, lepas, bebas, untukku setelah kau berhasil menangkapkan kupu kupu kuning favoritku. Dan melepaskannya, seperti permintaanku.

 

Andai waktu bisa kuputar kembali. Aku ingin mengatakannya kepadamu, Kau adalah hadiah istimewa dari Tuhan untuk hidupku yang sederhana.

Capsule: Aku Ingin Jatuh Cinta (lagi)








“Hai Gadis… “ itu suaranya yang ceria seperti biasa. Dengan kaca mata bergagang hitam dan dengan rambut yang sedikit tertiup angin, dia menghampiriku di meja kantin, tempat seperti biasa, sudut terjauh di kantin kampus, dekat jendela. Aku sudah menunggunya sejak setengah jam yang lalu. Tapi seperti biasa sepertinya dia tak peduli. Mata sipitnya mulai memperhatikan sekitar kantin. Melambaikan tangan pada beberapa mahasiswa lain yang sedang makan di meja lainnya.

“Hmm…” Aku Cuma menggumam, tak melepaskan pandanganku dari buku yang kubaca. Kemudian merasa tak diperhatikan, Dia menyuruput Lemon Squash milikku yang tinggal setengah. Biasanya cara ini berhasil, kali ini tidak. Jengah tidak diperhatikan, dia menarik buku yang sedang kubaca.

“Udah lima belas menit, kayaknya halaman yang kamu baca gak berubah deh, Dis”, aku menarik napas panjang “Hmm phiuuhh …” dia selalu sadar saat aku serius membaca atau hanya melamun.

“Ada masalah? Kenapa di jurusan? Di Bully?” tanyanya serius melihat tampang bête-ku. Aku hanya mendengus pelan saat melihat segerombolan cewek dari entah jurusan mana, menyapanya kemudian ber- hahaha- hihihi. Aku semakin tak mengerti apa yang bisa membuat mereka begitu menyukainya, mengejarnya hingga ke lokasi ini.

“Enggak apa-apa. Udah makan? Pesan gih sana!”

“Dibayarin nih kan?”

“Enak aja. Bukan hari special kok?” jawabku.

Setelah pesanannya datang dan menghabiskan makananmu dengan cerewet, bercerita apa saja. Tapi, aku tak mendengar. Pikiranku jauh entah kemana. Hingga kau melambaikan tanganmu dihadapanku.

“Dis… Gadis… Kemana aja?”

“Disini aja, udah ah yuk balik.” Ajakku pulang.

Setelah menaiki motornya, aku sudah đuduk di boncengannya dengan manis. Seperti biasa, dia melirikku sedikit dari kaca spion.

“Tampilanmu hari ini…. Kucel” ucapnya cuek kemudian melajukan motornya.

Tiba tiba aku tersadar. Bukan, ini bukan arah menuju kos-kosanku.

“Kita mau kemana?” tanyaku sedikit berteriak, mengalahkan suara jalanan.

“Gak pake jerit Gadis…”

“iya, tapi kita mau kemana?” tanyaku lagi

“Biar kamu gak cemberut lagi, sebentar aja. Kamu pasti suka.” Jawaban yang diplomatis dan sedikit membuatku penasaran.

Aku hanya diam saja. Tak ingin berdebat lebih lanjut. Obrolan dengan teman teman di kampus tadi sudah cukup membuatku kehilangan mood-ku. Ditambah lagi dukungan dari dosenku yang menyatakan

“Jatuh cintalah, biar tambah cantik. Wajah kita juga tambah segar. Lagian Kalau jatuh cinta aka nada seseorang yang selalu men-support kita disaat sulit” ujar dosenku di mata kuliah komunikasi hari ini. Aku merutuk sendiri dalam hati, “Apanya tambah cantik, berkali kali aku jatuh cinta, mataku sembab, sisa nangis semalaman, mood ku sering tiba tiba berantakan, bagian mana coba yang bisa membuat tambah cantik selain lebih sering berdandan karena takut si pacar pindah ke cewek lain.”. Ya, aku menggerutu sendiri dalam hati, sementara teman-temanku berkasak kusuk membicarakan kejadian jatuh cinta nya sendiri, sambil membenarkan ucapan sang dosen.

“To, kenapa kamu gak pacaran sih?” tanyaku pada Sato, makhluk cowok yang sedang menggoncengku menuju tempat yang katanya aku pasti suka, ini namanya Sato. Lebih lengkapnya namanya Satria Putra. Aku lebih suka memanggilnya Sato, karena matanya yang agak sipit kalau buka kacamata mirip seperti orang Jepang. Sato terdiam cukup lama, kemudian bertanya balik padaku.

“Yakin? Nanti kamu gak ada yang jaga gimana?”

Aku terdiam tidak bisa menjawab. Selama ini Sato lah yang menjagaku. Kemana-mana harus sama Sato, kecuali lagi kencan. Termasuk dalam hal menjadi Bodyguardku saat aku baru putus dari mantanku.

“Ahh serius nih” jawabku.

“Enggak pengen pacaran sama cewek cewek yang belum aku kenal aja. Emang kenapa. Kamu bad mood gara gara gak punya pacar?” tanya Sato tepat pada sasaran.

“Ehmm.. enggak. Aku udah gak mau pacaran lagi. Males.” Jawabku. Sato melajukan motornya semakin cepat di jalanan yang memang sepi.

Sato membawaku ke daerah pinggiran kota, ternyata sebuah gubuk kecil yang menjual masakan khas daerah sini, ikan bakar bumbu pedas. Sato benar, aku suka suasananya, gubuk kecil ini memiliki kolam ikan yang luas di belakangnya kemudian rumput ilalang menutupinya. Ditambah suasana senja dan semilir angin, aku akan betah berlama-lama melamun disini, paling tidak membaca novel-novelku.

Aku bingung pada diriku sendiri, ada yang tak bisa lagi aku rasakan. Kupu-kupu di perutku seperti tidak bisa lagi terbang menggelitik. Menyuarakan apa yang ingin di dengar hati. Aku tak bisa lagi merasakan debaran jantung saat aku jatuh cinta. Aku tak bisa jatuh cinta. Aku mati rasa.

Mungkin aku terlalu lelah untuk disakiti lagi.

Pikiranku melayang. Sato datang membawakan dua porsi ikan bakar bumbu pedas. Beginilah caranya memperlakukan aku kalau mood ku sedang buruk. Istimewa, seperti seorang putri. Kami menghabiskan ikan bakar kami masing- masing dengan diam. Sesekali Sato menggangguku dengan mengambil beberapa bagian ikanku, kemudian membuat lelucon konyol yang dia piker bisa membuatku tertawa, aku hanya tersenyum simpul dan berkata “Bodoh ah”

“Kamu kenapa sih Dis? Capek deh liat kamu manyun terus. Ada masalah?” tanya Sato saat ikan kami tinggal tulang belulang.

“Well, tadi dosen komunikasi bilang kita harus jatuh cinta. Tiba tiba aku ngerasa sendirian, teman teman satu kelas sibuk membicarakan pacar-pacar mereka. Kamu tau kan, aku nih gak punya pacar sejak enam bulan lalu” Jawabku.

“Jadi pengen punya pacar lagi nih?”

“Aku juga males pacaran lagi. Entah, aku hanya ngerasa capek pacaran. Sama si Deon yang kamu kenalin kemarin misalnya, cakep sih, pinter lagi. Tapi aku gak punya perasaan apapun Tọ. It feels like.. ehmm mati rasa or something like that” jawabku panjang. Sato menarik nafas panjang. Aku tau dia sedang berfikir.

“Mungkin gak sih kalau aku mati rasa?” tanyaku selanjutnya.

“Mungkin bukan mati rasa Dis. Hatimu hanya ingin menyembuhkan diri dulu. Sebelum benar- benar yakin mau jatuh cinta lagi. Kamu masih terlalu rapuh buat disakiti lagi. Setiap manusia yang hidup pasti bisa jatuh cinta. ” Jawab Sato. Aku diam tak bergeming.

“Cinta itu kehidupan, karena kehidupan itu sendiri awalnya dari cinta. Ya kan, Gadis Kireyna?” Sato mengucapkan satu kalimat yang pernah aku katakan padanya dulu, dulu sekali, saat dia dengan keras hatinya berkata tidak akan pernah jatuh cinta lagi.

“Iya. Cinta itu kehidupan…” gumamku hampir tak kedengaran.

Tuhan, Aku ingin jatuh cinta… yang terkahir kalinya. Bisikku dalam hati. Semilir angin di gubuk ini seolah menjadi jawaban alam atas permintaanku tadi. Wangi parfum Sato dan keringatnya bercampur menjadi aroma khas Sato yang selalu ku kenal. Aku memejamkan mata.

Sato, bagaimana aku bisa hidup tanpanya. Tiba- tiba aku tersadar, membuka mata. Sato melihat kea rah ilalang sambil memejamkan matanya. Tersenyum. Aku memperhatikan wajahnya, menyukai caranya tersenyum. Tiba-tiba Sato membuka matanya.

“Eh… uhmm. Maaf. Aku…” kataku gugup. Sato hanya tersenyum.

“Jadi, apa lagi yang bisa ku bantu nona manis?” ucap Sato merayu.

“Aku ingin jatuh cinta” bisikku.

“Aku siap menangkapmu jatuh, jika kau izinkan” Sato kemudian merangkul pundakku.

Bulan sabit yang merenung

Bulan sabit menggantung
Sedang aku cuma merenung
Tentang hatiku yang kau gantung
Pada satu sore yang mendung
Mungkin aku yang linglung
Membiarkan hatiku terkungkung
Mengizinkanmu menggantung
Padahal ada harapan segunung
Untukmu pemuda jangkung

Cintaku masih menggantung
Bulan berarti aku berkabung
Hanya sedikit bingung
Mengapa bulan sabit masih menemaniku merenung

14 Maret 2013
Pada hati yang menunggu.

posted from Bloggeroid

Minggu, 10 Maret 2013

Part time capsule

Tau apa yang ku lakulan saat sedang sendiri, memikirkanmu, merindukanmu?
Aku sering berharap tiba tiba kau ada disini, mengejutkanku dengan kedatanganmu. Tidak dengan sebuket bunga, aku tau kau tidak seromantis itu. Mungkin dengan wajah polosmu, wajah lugumu yang kadang manja.

Ah aku tau itu tak akan mungkin.
Aku tersenyum geli mengakhiri kegiatan favoritku.
Aku menoleh pada ponselku yang tiba tiba menyala.

1 pesan masuk

Pesan darimu.
"Hani sayang maaf aku tak sempat meneleponmu malam ini, isteriku ingin aku menemaninya makan malam dengan orang tuanya, Aku akan menemuimu segera."

Terkejut? Tidak. Aku sudah biasa memperoleh pesan seperti itu darimu.
Mencintaimu adalah pekerjaanku.
Menjadi yang kedua adalah resiko yang harus kuterima.
Mengkhayalkanmu adalah pekerjaan PartTime ku.

posted from Bloggeroid

Senin, 04 Maret 2013

Forbidden capsule

Ternyata belajar untuk berhenti mencintaimu itu jauh lebih sulit dari pada belajar mencintaimu.

40 jam sudah aku berusaha menahan diri untuk tidak menghubungimu. Berhenti mengingatkanmu untuk makan, berhenti mengkhawatirkan keadaanmu.
40 jam yang lalu...
"Berhentilah mencintaiku..." ucapmu lirih. Pelan dan Pasti. Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Sebuah undangan pernikahan menjelaskan semuanya. Disana tertulis jelas, Gagah dan elegan namamu, Arga Reinhard.

*
Aku bertahan tak melirik ke ponselku, sedikitpun tidak. Bukan tak berharap kau akan menghubungiku, harapan itu besar sekali malah. Tapi aku sadar tak akan ada lagi pesan pesan darimu, rayuanmu, atau missed call yang kau tinggalkan sebagai tanda aku harus segera menghubungimu.

40 Jam belajar berhenti mencintaimu menyesakkan.
Tak ada rumus cepat dalam kasus ini. Tak ada alat bantu apapun. Semua harus kupelajari otodidak. Pelan pelan.
Kau bilang aku pasti berhasil berhenti mencintaimu.

Bisakah kau mengajariku perlahan lahan? seperti dulu kau mengajariku untuk mencintaimu?

*
ini rooftop kita. Tempat favorit kita. Aku berdiri disisiannya. Kota terlihat sangat indah dari apartemenku. Kau bilang karena letaknya dilantai tertinggi. Bagiku bukan, karena selalu ada dirimu yang memelukku melihat kota.

Sedikit lagi aku bukan hanya belajar berhenti mencintaimu. Aku juga akan melupakanmu.

Aku merasakan angin. Ringan, otot tubuhku yang kau bilang sedikit berisi terasa ringan.
2 detik lagi mungkin... dan
Braaakkk......
ini untukmu Arga Reinhard.
Dari kekasihmu, sahabat dekat calon isterimu, Ben Putra Darmawan.

*

3 Maret 2013
Seorang pria tewas, terjatuh dari apartemennya sendiri.

Aku telah menemukan cara cepat untuk berhenti mencintaimu, Arga

posted from Bloggeroid

Minggu, 03 Maret 2013

Pengen Pergi

Entah. pengen aja hijrah ntah kemana gitu bosen bgt rasanya tiap hari gini2 aja. gg ada progress..

posted from Bloggeroid