Kamis, 14 Maret 2013

Capsule: Aku Ingin Jatuh Cinta (lagi)








“Hai Gadis… “ itu suaranya yang ceria seperti biasa. Dengan kaca mata bergagang hitam dan dengan rambut yang sedikit tertiup angin, dia menghampiriku di meja kantin, tempat seperti biasa, sudut terjauh di kantin kampus, dekat jendela. Aku sudah menunggunya sejak setengah jam yang lalu. Tapi seperti biasa sepertinya dia tak peduli. Mata sipitnya mulai memperhatikan sekitar kantin. Melambaikan tangan pada beberapa mahasiswa lain yang sedang makan di meja lainnya.

“Hmm…” Aku Cuma menggumam, tak melepaskan pandanganku dari buku yang kubaca. Kemudian merasa tak diperhatikan, Dia menyuruput Lemon Squash milikku yang tinggal setengah. Biasanya cara ini berhasil, kali ini tidak. Jengah tidak diperhatikan, dia menarik buku yang sedang kubaca.

“Udah lima belas menit, kayaknya halaman yang kamu baca gak berubah deh, Dis”, aku menarik napas panjang “Hmm phiuuhh …” dia selalu sadar saat aku serius membaca atau hanya melamun.

“Ada masalah? Kenapa di jurusan? Di Bully?” tanyanya serius melihat tampang bête-ku. Aku hanya mendengus pelan saat melihat segerombolan cewek dari entah jurusan mana, menyapanya kemudian ber- hahaha- hihihi. Aku semakin tak mengerti apa yang bisa membuat mereka begitu menyukainya, mengejarnya hingga ke lokasi ini.

“Enggak apa-apa. Udah makan? Pesan gih sana!”

“Dibayarin nih kan?”

“Enak aja. Bukan hari special kok?” jawabku.

Setelah pesanannya datang dan menghabiskan makananmu dengan cerewet, bercerita apa saja. Tapi, aku tak mendengar. Pikiranku jauh entah kemana. Hingga kau melambaikan tanganmu dihadapanku.

“Dis… Gadis… Kemana aja?”

“Disini aja, udah ah yuk balik.” Ajakku pulang.

Setelah menaiki motornya, aku sudah đuduk di boncengannya dengan manis. Seperti biasa, dia melirikku sedikit dari kaca spion.

“Tampilanmu hari ini…. Kucel” ucapnya cuek kemudian melajukan motornya.

Tiba tiba aku tersadar. Bukan, ini bukan arah menuju kos-kosanku.

“Kita mau kemana?” tanyaku sedikit berteriak, mengalahkan suara jalanan.

“Gak pake jerit Gadis…”

“iya, tapi kita mau kemana?” tanyaku lagi

“Biar kamu gak cemberut lagi, sebentar aja. Kamu pasti suka.” Jawaban yang diplomatis dan sedikit membuatku penasaran.

Aku hanya diam saja. Tak ingin berdebat lebih lanjut. Obrolan dengan teman teman di kampus tadi sudah cukup membuatku kehilangan mood-ku. Ditambah lagi dukungan dari dosenku yang menyatakan

“Jatuh cintalah, biar tambah cantik. Wajah kita juga tambah segar. Lagian Kalau jatuh cinta aka nada seseorang yang selalu men-support kita disaat sulit” ujar dosenku di mata kuliah komunikasi hari ini. Aku merutuk sendiri dalam hati, “Apanya tambah cantik, berkali kali aku jatuh cinta, mataku sembab, sisa nangis semalaman, mood ku sering tiba tiba berantakan, bagian mana coba yang bisa membuat tambah cantik selain lebih sering berdandan karena takut si pacar pindah ke cewek lain.”. Ya, aku menggerutu sendiri dalam hati, sementara teman-temanku berkasak kusuk membicarakan kejadian jatuh cinta nya sendiri, sambil membenarkan ucapan sang dosen.

“To, kenapa kamu gak pacaran sih?” tanyaku pada Sato, makhluk cowok yang sedang menggoncengku menuju tempat yang katanya aku pasti suka, ini namanya Sato. Lebih lengkapnya namanya Satria Putra. Aku lebih suka memanggilnya Sato, karena matanya yang agak sipit kalau buka kacamata mirip seperti orang Jepang. Sato terdiam cukup lama, kemudian bertanya balik padaku.

“Yakin? Nanti kamu gak ada yang jaga gimana?”

Aku terdiam tidak bisa menjawab. Selama ini Sato lah yang menjagaku. Kemana-mana harus sama Sato, kecuali lagi kencan. Termasuk dalam hal menjadi Bodyguardku saat aku baru putus dari mantanku.

“Ahh serius nih” jawabku.

“Enggak pengen pacaran sama cewek cewek yang belum aku kenal aja. Emang kenapa. Kamu bad mood gara gara gak punya pacar?” tanya Sato tepat pada sasaran.

“Ehmm.. enggak. Aku udah gak mau pacaran lagi. Males.” Jawabku. Sato melajukan motornya semakin cepat di jalanan yang memang sepi.

Sato membawaku ke daerah pinggiran kota, ternyata sebuah gubuk kecil yang menjual masakan khas daerah sini, ikan bakar bumbu pedas. Sato benar, aku suka suasananya, gubuk kecil ini memiliki kolam ikan yang luas di belakangnya kemudian rumput ilalang menutupinya. Ditambah suasana senja dan semilir angin, aku akan betah berlama-lama melamun disini, paling tidak membaca novel-novelku.

Aku bingung pada diriku sendiri, ada yang tak bisa lagi aku rasakan. Kupu-kupu di perutku seperti tidak bisa lagi terbang menggelitik. Menyuarakan apa yang ingin di dengar hati. Aku tak bisa lagi merasakan debaran jantung saat aku jatuh cinta. Aku tak bisa jatuh cinta. Aku mati rasa.

Mungkin aku terlalu lelah untuk disakiti lagi.

Pikiranku melayang. Sato datang membawakan dua porsi ikan bakar bumbu pedas. Beginilah caranya memperlakukan aku kalau mood ku sedang buruk. Istimewa, seperti seorang putri. Kami menghabiskan ikan bakar kami masing- masing dengan diam. Sesekali Sato menggangguku dengan mengambil beberapa bagian ikanku, kemudian membuat lelucon konyol yang dia piker bisa membuatku tertawa, aku hanya tersenyum simpul dan berkata “Bodoh ah”

“Kamu kenapa sih Dis? Capek deh liat kamu manyun terus. Ada masalah?” tanya Sato saat ikan kami tinggal tulang belulang.

“Well, tadi dosen komunikasi bilang kita harus jatuh cinta. Tiba tiba aku ngerasa sendirian, teman teman satu kelas sibuk membicarakan pacar-pacar mereka. Kamu tau kan, aku nih gak punya pacar sejak enam bulan lalu” Jawabku.

“Jadi pengen punya pacar lagi nih?”

“Aku juga males pacaran lagi. Entah, aku hanya ngerasa capek pacaran. Sama si Deon yang kamu kenalin kemarin misalnya, cakep sih, pinter lagi. Tapi aku gak punya perasaan apapun Tọ. It feels like.. ehmm mati rasa or something like that” jawabku panjang. Sato menarik nafas panjang. Aku tau dia sedang berfikir.

“Mungkin gak sih kalau aku mati rasa?” tanyaku selanjutnya.

“Mungkin bukan mati rasa Dis. Hatimu hanya ingin menyembuhkan diri dulu. Sebelum benar- benar yakin mau jatuh cinta lagi. Kamu masih terlalu rapuh buat disakiti lagi. Setiap manusia yang hidup pasti bisa jatuh cinta. ” Jawab Sato. Aku diam tak bergeming.

“Cinta itu kehidupan, karena kehidupan itu sendiri awalnya dari cinta. Ya kan, Gadis Kireyna?” Sato mengucapkan satu kalimat yang pernah aku katakan padanya dulu, dulu sekali, saat dia dengan keras hatinya berkata tidak akan pernah jatuh cinta lagi.

“Iya. Cinta itu kehidupan…” gumamku hampir tak kedengaran.

Tuhan, Aku ingin jatuh cinta… yang terkahir kalinya. Bisikku dalam hati. Semilir angin di gubuk ini seolah menjadi jawaban alam atas permintaanku tadi. Wangi parfum Sato dan keringatnya bercampur menjadi aroma khas Sato yang selalu ku kenal. Aku memejamkan mata.

Sato, bagaimana aku bisa hidup tanpanya. Tiba- tiba aku tersadar, membuka mata. Sato melihat kea rah ilalang sambil memejamkan matanya. Tersenyum. Aku memperhatikan wajahnya, menyukai caranya tersenyum. Tiba-tiba Sato membuka matanya.

“Eh… uhmm. Maaf. Aku…” kataku gugup. Sato hanya tersenyum.

“Jadi, apa lagi yang bisa ku bantu nona manis?” ucap Sato merayu.

“Aku ingin jatuh cinta” bisikku.

“Aku siap menangkapmu jatuh, jika kau izinkan” Sato kemudian merangkul pundakku.

0 comments:

Posting Komentar