skip to main |
skip to sidebar
“Kamera Polaroid … !!!” Seruku saat
itu. Kau hanya tersenyum. Ya, itu hadiah yang kau berikan di hari ulang tahunku
yang ke 19. Setelah berulang kali kau membujukku untuk mengatakan apa yang
paling aku inginkan saat itu, aku ingat sekali, setelah ku katakan aku ingin
kamera itu tiba tiba saja kau menjauh dariku, tak mau lagi ku ajak makan, atau
sekedar nonton film yang saat itu sedang tanyang perdana. Kau tiba tiba saja
jarang terlihat muncul tiba-tiba di pintu kamarku. Beberapa kali kuperhatikan
kau terlihat lelah, mengantuk di kelas saat dosen menjelaskan. Kau tau, aku
sudah lama sekali mengumpulkan uang untuk membeli kamera itu, tapi selalu ku
gunakan untuk membayar uang kuliah karena belum datang kiriman dari ibuku. Kau
tau itu hadiah terindah di hidupku.
Tiba tiba
saja aku teringat tentangmu. Padahal itu sudah lama sekali. Sekarang pasti kau
sudah bahagia.
Kau ingat, dengan kamera itu kita
membuat buku ‘Sejarah’. Kau lebih suka mengatakannya buku ‘pusaka’. Kau ingat
buku itu masih tersimpan rapi, sebagai bukti aku pernah bahagia bersamamu. Baru
setengah dari buku itu terisi, kau tiba tiba saja pergi. Menghilang entah
kemana. Menjauh begitu saja, sejak kuceritakan seorang kakak kelas yang sejak
dulu kusukai menyatakan cintanya kepadaku. Kau tau sejak itu, aku kehilangan
tawa renyahmu, kehilangan mata sipitmu saat tertawa, kehilangan aroma tubuhmu
yang berbalut harum chocolate. Aku
rindu. Itu saja yang kutulis di buku ‘pusaka’ kita.
Tiba-tiba
saja aku merindukanmu dengan sangat, tanpa tepi. Padahal sudah lama sekali aku
terbiasa dengan rasa ini.
Entah apa yang dapat mendefenisikan
rasa itu, saat aku akhirnya mengetahui kabar terakhirmu. Bahkan dari orang yang
baru saja ku kenal. Dea. Gadis manis itu akhirnya menceritakan kisah cintanya.
Bahwa ia akan bertunangan dengan seorang arsitek kreatif. Andro. Nama yang
tidak asing di telingaku. Andro Yudhistira. Gadis itu mengangguk saat
kusebutkan nama lengkapmu. Aku tercekat. Terdiam. Kemudian dengan sopan segera
pamit. Kau tau, aku menangis tanpa alasan hari itu. Harusnya aku bahagia bisa
mengetahui kabarmu dan kabar bahagia kalian. Tiba tiba saja saat itu aku sedih.
Belum selesai di situ, kau menjemputnya beberapa hari kemudian, menawariku
makan bersama kemudian mengharuskanku melihat kebahagiaan kalian. Kau tertawa.
Hal yang paling kusukai darimu, hal yang paling kurindukan. Suara tawamu. Saat
kau tertawa renyah, lepas, tanpa beban, aku ingin menangkapnya dalam sebuah
toples kaca, kusimpan untukku sendiri. Takkan ku bagi, meski dengan nya,
kekasihmu. Tapi aku tak bisa. Aku cemburu. Aku tak ingin kau terbagi.
Andai aja
kau tahu, saat itu setengah mati aku ingin menjepretkan kamera polaroidku. Aku
ingin mengumpulkan kembali tawamu. Tapi kau mengeluarkan ponsel terbarumu dan
mengabadikannya dengan kamera ponselmu. Terasa ada yang berbeda Ro. Rasa ini
membuat kepalaku menjadi panas.
Ah, Ro. Air mataku begitu saja keluar
setiap kali aku melihat buku pusaka kita. Kau selalu bilang, ada masa yang tak
pernah kembali, saat saat yang tak akan terulang lagi. Kau benar, kamera ini
menjadi bukti semuanya Ro. Aku punya saat saat yang tak pernah terulang itu.
Saat kau masih tertawa bersamaku, tertawa untukku. Masih teringat jelas saat
terakhir kali sebelum kau pergi menghilang. Di padang rumput belakang komplek perumahan kita. Kau
tertawa renyah, lepas, bebas, untukku setelah kau berhasil menangkapkan kupu
kupu kuning favoritku. Dan melepaskannya, seperti permintaanku.
Andai waktu bisa kuputar
kembali. Aku ingin mengatakannya kepadamu, Kau adalah hadiah istimewa dari
Tuhan untuk hidupku yang sederhana.
0 comments:
Posting Komentar