Kamis, 14 Maret 2013

Polaroid capsules

 


“Kamera Polaroid … !!!” Seruku saat itu. Kau hanya tersenyum. Ya, itu hadiah yang kau berikan di hari ulang tahunku yang ke 19. Setelah berulang kali kau membujukku untuk mengatakan apa yang paling aku inginkan saat itu, aku ingat sekali, setelah ku katakan aku ingin kamera itu tiba tiba saja kau menjauh dariku, tak mau lagi ku ajak makan, atau sekedar nonton film yang saat itu sedang tanyang perdana. Kau tiba tiba saja jarang terlihat muncul tiba-tiba di pintu kamarku. Beberapa kali kuperhatikan kau terlihat lelah, mengantuk di kelas saat dosen menjelaskan. Kau tau, aku sudah lama sekali mengumpulkan uang untuk membeli kamera itu, tapi selalu ku gunakan untuk membayar uang kuliah karena belum datang kiriman dari ibuku. Kau tau itu hadiah terindah di hidupku.

Tiba tiba saja aku teringat tentangmu. Padahal itu sudah lama sekali. Sekarang pasti kau sudah bahagia.

Kau ingat, dengan kamera itu kita membuat buku ‘Sejarah’. Kau lebih suka mengatakannya buku ‘pusaka’. Kau ingat buku itu masih tersimpan rapi, sebagai bukti aku pernah bahagia bersamamu. Baru setengah dari buku itu terisi, kau tiba tiba saja pergi. Menghilang entah kemana. Menjauh begitu saja, sejak kuceritakan seorang kakak kelas yang sejak dulu kusukai menyatakan cintanya kepadaku. Kau tau sejak itu, aku kehilangan tawa renyahmu, kehilangan mata sipitmu saat tertawa, kehilangan aroma tubuhmu yang berbalut harum chocolate. Aku rindu. Itu saja yang kutulis di buku ‘pusaka’ kita.

Tiba-tiba saja aku merindukanmu dengan sangat, tanpa tepi. Padahal sudah lama sekali aku terbiasa dengan rasa ini.

Entah apa yang dapat mendefenisikan rasa itu, saat aku akhirnya mengetahui kabar terakhirmu. Bahkan dari orang yang baru saja ku kenal. Dea. Gadis manis itu akhirnya menceritakan kisah cintanya. Bahwa ia akan bertunangan dengan seorang arsitek kreatif. Andro. Nama yang tidak asing di telingaku. Andro Yudhistira. Gadis itu mengangguk saat kusebutkan nama lengkapmu. Aku tercekat. Terdiam. Kemudian dengan sopan segera pamit. Kau tau, aku menangis tanpa alasan hari itu. Harusnya aku bahagia bisa mengetahui kabarmu dan kabar bahagia kalian. Tiba tiba saja saat itu aku sedih. Belum selesai di situ, kau menjemputnya beberapa hari kemudian, menawariku makan bersama kemudian mengharuskanku melihat kebahagiaan kalian. Kau tertawa. Hal yang paling kusukai darimu, hal yang paling kurindukan. Suara tawamu. Saat kau tertawa renyah, lepas, tanpa beban, aku ingin menangkapnya dalam sebuah toples kaca, kusimpan untukku sendiri. Takkan ku bagi, meski dengan nya, kekasihmu. Tapi aku tak bisa. Aku cemburu. Aku tak ingin kau terbagi.

Andai aja kau tahu, saat itu setengah mati aku ingin menjepretkan kamera polaroidku. Aku ingin mengumpulkan kembali tawamu. Tapi kau mengeluarkan ponsel terbarumu dan mengabadikannya dengan kamera ponselmu. Terasa ada yang berbeda Ro. Rasa ini membuat kepalaku menjadi panas.

Ah, Ro. Air mataku begitu saja keluar setiap kali aku melihat buku pusaka kita. Kau selalu bilang, ada masa yang tak pernah kembali, saat saat yang tak akan terulang lagi. Kau benar, kamera ini menjadi bukti semuanya Ro. Aku punya saat saat yang tak pernah terulang itu. Saat kau masih tertawa bersamaku, tertawa untukku. Masih teringat jelas saat terakhir kali sebelum kau pergi menghilang. Di padang  rumput belakang komplek perumahan kita. Kau tertawa renyah, lepas, bebas, untukku setelah kau berhasil menangkapkan kupu kupu kuning favoritku. Dan melepaskannya, seperti permintaanku.

 

Andai waktu bisa kuputar kembali. Aku ingin mengatakannya kepadamu, Kau adalah hadiah istimewa dari Tuhan untuk hidupku yang sederhana.

0 comments:

Posting Komentar