Selasa, 17 September 2013

Ter-biasa. Terasing.

Aku terlalu terbiasa tanpamu. Hingga kehadiranmu menyajikan sepercik kecanggungan.

'Mbak ada yang bisa dibantu?' Seorang pria menawarkan bantuannya kepadaku. Aku tersenyum menggeleng.
Kalau cuma membawa berkas sebanyak ini, aku masih sanggup sendiri. Aku harus kuat,bisikku pada diri sendiri.

Kau bilang aku perempuan tangguh. Kau bilang, aku tak boleh manja. Tak sadar kah kau, aku tetap seorang perempuan?

Tanganku gemetar mengambil ponsel hitamku di atas meja kecil sebelah tempat tidurku. Bahkan mengangkat tubuhku untuk sekedar membasuh wajahku pun aku tak sanggup. Pandanganku bahkan tak bisa fokus.
Aku menekan panggilan cepat.
Bukan untuk menghubungimu.
'Ru, ke kos gw, tolong. Gw lemes banget'
Tidak sempat Endru menjawab panggilan itu terputus.

Pintu kamarku terbuka, aroma Endru menguar disekitarku. Aku tersenyum, kenal betul dengan aroma wood dan musk yang bercampur menjadi bau khas Endru.
Aku bisa tertidur lelap. Endru tahu apa yang harus dilakukannya.

'Lo perempuan paling mandiri yang pernah gue kenal.' Endru. Aku tersenyum kecut

'Berhenti nganggep diri lo kuat ngerjain semua sendiri, Lun. Lo kan bisa minta bantuan gue.' Endru menatapku cemas.

'Thanks tawarannya Ru.' Aku tak mau berdebat dengan Endru sekarang ini. Terasa terlalu lelah.

'Gue bukan Yudha punya cewek setangguh lo cuma biar lo gak ngerepotin dia.' Endru menggumam. Aku tak berkomentar.

Aku harus terbiasa tanpamu, meski itu berarti membunuh semua rindu yang perlahan menggerogotiku

'Lun, vitamin lo ada di tas merah lo. Gue ada urusan bentar. Jam 12 gue telp buat mastiin lo. Kalo ada apa apa lo telp gue' Endru pamit.

Aku meraih ponsel putihku. Melihat fotomu di ponselku. Sudah cukup, bisikku pada diri sendiri. Aku tak beh bersikap kekanak kanakan lagi dengan memberimu ucapan selamat pagi. Bukankah kita sudah dewasa.
Hhhhhhhhhh aku menarik nafas panjang. Ini hari ke- tiga tidak ada kabar darimu. Aku tak menuntut apapun. Hanya berusaha percaya. Berusaha 'Dewasa', katamu.

Apa percaya saja cukup? Bila ternyata membiasa dan terbiasa menghilangkan rasa.

***
'Yudha?' aku tak percaya. Melihat lebih pasti siapa pria dihadapanku. Iya, itu kau, Yudha Dharmawinata.
'Eh, ada apa nih. Tumben mampir?' aku berkata canggung.
Dahimu berkerut.
'Sorry, maksudku ini senin. Kamu gak kerja?' tanyaku.
'Endru kemarin sms, bilang kamu mau pindahan hari ini. Kenapa gak ngabarin? Aku kan bisa bantu.'
'Aku bisa sendiri kok Yudh. Aku gak mau ganggu kamu.' Aku tersenyum.
Aneh. Kupu kupu itu tidak berterbangan lagi di perutku. Pipiku tidak memanas lagi. Aneh. Aku tak pernah sesantai ini berhadapan denganmu. Kemana semua rindu yang kubenamkan dalam dalam. Hey, aku bahkan lupa bagaimana caramu tersenyum. Ah ya aku harus segera mengangkut beberapa kardus lagi.

'Masuk Yudh, maaf masih berantakan.' aku mempersilahkanmu duduk di sebuah kursi yang tersisa sambil mengangkat sebuah kardus yang cukup besar.

'Berhentilah seolah lo bisa ngerjain semua sendiri Lun.' sebuah tangan menarik kardus itu. Bukan, itu bukan tanganmu. Jam tangan hitam itu hadiahku untuk Endru.
'Gue bukan cowok bego yang cuma bisa diem waktu lo ngerjain semuanya sendiri. Lo lupa ya Lun, Lo itu perempuan.' Endru mengangkat kardus berat itu dan berlalu. Aku tersenyum.

'eh Yudh sorry ya. Aku harus buru-buru pindahannya.'

Aku pernah merasa takut. Aku takut terlalu terbiasa tanpamu, hingga kehadiranmu menjadi asing.

posted from Bloggeroid

0 comments:

Posting Komentar